paypermails.com
richgoptr.com
workmails.org

Minggu, 04 Januari 2009

Abu Dzar Al-Ghifari

Lembah Waddan yang menghubungkan kota Makkah dengan dunia luar dihuni oleh kabilah Ghifar. Kehidupan kabilah ini bergantung pada semacam pungutan yang dikenakan terhadap kafilah-kafilah dagang Quraisy yang hilir mudik dari dan ke Syam. Kadangkala, bila kafilah dagang yang lewat itu tak mau memberi, kabilah Ghifar merampok mereka.

Tersebutlah Jundub bin Jundah yang lebih terkenal dengan sebutan Abu Dzar. Dia adalah seorang putra Ghifar yang terkemuka karena keberanian, kecerdasan, dan wawasan beripikirnya yang luas.

Dada Abu Dzar terasa sesak menyaksikan kaumnya menyembah patung-patung mati. Dia mengecam akidah bangsa Arab yang rusak ini dan selalu berharap-harap akan datangnya seorang nabi baru mampu mengisi akal dan hati mereka dengan cahaya kebenaran dan mengeluarkan mereka dari kegelapan.


Akhirnya sampai juga ke telinga Abu Dzar berita bahwa seorang nabi baru telah muncul di kota Makkah. Dia segera berkata kepada saudaranya, Anis: “Saudaraku, pergilah ke kota Makkah untuk mencari berita tentang orang yang mengaku sebagai nabi yang menerima wahyu dari langit itu. Dengarlah apa yang diserukannya lalu ceritakan padaku.”

Anis segers berangkat ke Makkah. Di sana dia bisa bertemu dengan Rasulullah dan mendengar seruannya. Setelah itu dia segera pulang, dan disongsong oleh Abu Dzar dengan berdebar-debar.

Kata Anis: “Demi Allah, aku melihat seseorang mengajak pada keluhuran budi dan akhlak. Kata-kata yang diucapkannya bukanlah syair.”

Kata Abu Dzar: “Demi Allah, engkau tidak memuaskan aku dan tidak menyampaikan apa yang kubutuhkan. Begini saja, maukah engkau menanggung keluargaku untuk sementara waktu? Aku ingin menjumpai dan bercakap-cakap dengan nabi itu.

“Baik. Tapi berhati-hatilah, jaga dirimu dari penduduk kota Makkah,” pesan Anis.


Abu Dzar segera menyiapkan perbekalan. Dengan membawa qirbah (tempat air terbuat dari kulit binatang) kecil dia berangkat ke Makkah keesokan harinya. Hatinya sudah bulat. Dia harus bertemu dengan nabi dan menanyakan tentang apa yang diserukannya.

Singkat cerita, Abu Dzar sampai di kota Makkah. Dia telah banyak mendengar berita tentang keganasan Quraisy terhadap orang-orang yang ingin menjadi pengikut Muhammad. Oleh karena itu dia takut dan tak mau bertanya kepada siapapun tentang Muhammad, sebab dia tak tahu apakah yang ditanya itu sahabat Muhammad atau justru musuhnya.

Ketika malam tiba Abu Dzar tidur-tiduran di masjid. Kebetulan tak lama berselang Ali bin Abi Thalib berlalu di depan masjid. Dalam sekejab Ali tahu bahwa Abu Dzar adalah pendatang dari luar kota sehingga dia berkata, “Saudara, mari menginap saja di rumahku.”

Jadilah Abu Dzar menginap di rumah Ali malam itu. Pagi harinya dia membawa qirbah dan kantung makanannya untuk kembali ke masjid bersama si tuan rumah. Namun kedua orang itu tidak saling menanyakan urusannya.

Sampai hari kedua Abu Dzar belum juga mendapatkan keterangan tentang Nabi Muhammad. Maka ketika senja turun dia pergi ke masjid untuk tidur. Seperti kemarin, Ali bin Abi Thalib melewati masjid, lalu bertanya, “Anda belum pulang?”

Seperti kemarin pula, malam itu Abu Dzar kembali menginap di rumah Ali. Begitu pun keduanya tetap tidak saling bertanya atau memperkenalkan diri.

Pada malam yang ketiga, akhirnya Ali bertanya kepada tamunya, “Apa sebenarnya keperluan Anda di Makkah ini?”

Abu Dzar menjawab dengan hati-hati, “Pertama-tama, berjanjilah dulu bahwa Anda mau memberikan keterangan yang kubutuhkan.”

Setelah Ali memberikan janjinya, baru Abu Dzar berterus terang, “Sebenarnya kedatanganku kemari ini dari suatu tempat yang jauh adalah untuk menjumpai nabi baru itu. Aku ingin mendengar tentang sesuatu yang dia bawa.”

Mendengar itu wajah Ali membiaskan kegembiraan. Ia menuturkan dengan bergairah, “Demi Allah, beliau benar-benar Rasul Allah. Biasanya beliau begini dan begitu … Besok pagi Anda bisa ikut aku. Nanti bila ada hal-hal yang terlihat mencurigakan, aku akan berhenti dan pura-pura buang air. Bila aku berjalan lagi, teruslah mengikuti. Dan bila aku memasuki sebuah rumah, masuklah juga.”

Malam itu Abu Dzar tidak mampu memicingkan mata sedikitpun karena rasa rindu yang meluap-luap untuk berjumpa dengan nabi dan mendengarkan wahyu Allah.

Pagi harinya mereka berdua berangkat ke rumah Rasulullah. Abu Dzar berjalan agak jauh di belakang Ali. Jalan yang mereka tempuh lurus saja, tidak berbelok ke kanan ataupun ke kiri, sampai akhirnya memsuki sebuah rumah.

Begitu melihat Nabi Sholallohu 'alaihi wassalam, Abu Dzar memberi salam, “Assalamu 'alaika, ya Rasulullah.”

Rasulullah menjawab, “Wa 'alaikassalamullahi wa rahmatuhu wa barakatuh.”

Abu Dzar-lah orang pertama yang memberi salam kepada Rasulullah dengan cara demikian. Ucapannya itu kemudian menjadi salam Islam dan ditiru oleh semua muslimin.

Rasulullah kemudian menyeru Abu Dzar ke dalam Islam. Beliau membacakan dan mengajarinya Al-Qur'an. Sebelum meninggalkan tempat itu, Abu Dzar telah mengucapkan syahadat dan resmi memeluk Islam. Dia menjadi orang keempat atau kelima yang melakukannya.

Berikut penuturan Abu Dzar: ”…Setelah itu aku tinggal bersama Rasulullah di Makkah. Beliau mengajariku dinul (agama) Islam dan membacakan Al-Qur'an. Beliau juga berpesan, “Jangan sekali-kali engkau berterang-terangan tentang Islam di kota Mekkah ini. Aku Khawatir orang-orang akan membunuhmu.”

Kataku, “Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, saya tidak akan meninggalkan Mekkah sebelum pergi ke masjid dan mengumandangkan kebenaran Islam di tengah-tengah masyarakat Quraisy.”

Rasulullah berdiam diri mendengar kekerasanku.

Lalu aku pergi ke masjid. Orang-orang Qurasy sedang duduk-duduk sambil mengobrol. Di tengah-tengah mereka aku berdiri dan berteriak sekeras-kerasnya, “Hai orang-orang Quraisy, aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah!”

Mereka terperanjat, dan sedetik kemudian semua bangkit dari duduknya dan menyerbu ke arahku. “Hajar saja orang ini! Dia telah keluar dari agamanya!” di sana-sini terdengar teriakan.

Orang-orang segera menghujaniku dengan pukulan-pukulan keras tanpa ampun. Mungkin aku akan tewas kalau saja Abbas bin Abdulmuthalib tidak segera datang. Dia berusaha melindungiku dan menghardik para pengeroyokku, “Celakalah kalian! Kalian hendak membunuh seorang Ghifar, padahal kafilah kalian harus melewati perkampungan Ghifar?!”

Mendengar itu, baru mereka berhenti.

Setelah siuman, aku pergi menjumpai Rasulullah. Melihat keaadanku, beliau berkata, “Bukanlah aku telah melarangmu mengumumkan Islam?”

Kataku, “Ya Rasulullah, niat dalam hati saya telah terpenuhi.” Beliau berkata lagi, “Pulanglah ke tempat kaummu dan beritakan apa yang kau lihat dan kau dengar di sini. Serulah mereka ke dalam agama Allah. Semoga dia memberi petunjuk kepada mereka melalui engkau dan memberikan pahala kepadamu. Bila kau dengar posisi Islam dalam masyarakat sudah kokoh, datanglah kembali kepadaku.”

Aku pun pulang sesuai dengan perintah Rasulullah. Saudaraku Anis menyongsong seraya bertanya, “Apa saja yang telah kau lakukan?”

“Aku memeluk Islam dan aku mempercayai Rasulullah,” jawabku.

Allah membukakan hati Anis sehingga dia berkata, “Aku tidak suka kepada Agamaku. Aku menyatakan Islam dan membenarkan dakwah Rasulullah.”

Kemudian kami berdua menjumpai Ibu dan mengajaknya masuk Islam. Dia berkata, “Aku tidak suka kepada Agamaku. Aku juga menyatakan Islam.”


Sejak hari itu, keluarga yang beriman ini bergerak memperkenalkan Islam di daerah Ghifar tanpa jemu-jemu sehingga banyak penduduk Ghifar yang masuk Islam. Shalat lima waktu pun aktif dilakukan di masjid-masjid.

Segolongan orang berkata, “Sementara ini kita bertahan dalam agama kita. Nanti bila Rasulullah ke kota Madinah baru kita nyatakan keislaman kita di depan beliau.”

Begitulah. Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, mereka semua menyatakan keislamannya. Beliau berkata, Ghfar, semoga Allah mengampuni mereka. Aslam, semoga Allah memberi mereka keselamatan..”

Abu Dzar tetap tinggal didusunnya sampai tercetusnya perang Badar, Uhud dan Khandaq. Sesudah itu dia pergi ke Madinah dan minta izin untuk menyertai Rasulullah dan melayani semua kebutuhan beliau. Sebaliknya, Rasulullah juga mengutamakan dan menghormati Abu Dzar. Setiap kali berjumpa, beliau pasti menjabat tangan Abu Dzar erat-erat sambil tersenyum menunjukkan kegembiraan.

Setelah Rasulullah pulang ke rahmatullah, Abu Dzar tidak lagi merasa betah tinggal di Madinah. Dia pindah ke Syam, dan tinggal disana selama masa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, dan Al-Faruq, Umar bin Khathab.

Pada masa khalifah Utsman bin Affan, Abu Dzar pindah ke Damsyik. Di kota ini dilihatnya betapa kaum muslimin tenggelam dalam kemewahan dan sangat condong pad dunia. Kondisi ini sangat mengejutkan Abu Dzar.

Suatu kali Khalifah Utsman memanggilnya agar kembali ke Madinah. Abu Dzar segera memenuhi panggilan itu. Tapi lagi-lagi disini dia menjumpai kondisi yang sama. Kini hatinya cemas melihat manusia begitu cenderung kepada dunia. Sebaliknya, orang-orang merasa sesak menghadapi kekerasan hati Abu Dzar yang tak bosan-bosannya memperingatkan mereka dengan kata-kata pedas.

Khalifah kemudian menyarankan agar Abu Dzar bermukim di Arrabdzah, sebuah desa kecil yang masih wilayah Madinah. Abu Dzar menyetujui dan berangkat dengan segera. Dia hidup jauh dari manusia, zuhud terhadap kekayaan, tak mengirikan harta benda yang berada di tangan orang lain, berpegang pada cara hidup Rasulullah dan kedua sahabatnya yang mulia. Dia mengutamakan kehidupan akhirat yang kekal daripada kehidupan dunia yang fana.


Suatu hari seorang lelaki berkunjung ke rumah Abu Dzar. Melihat rumahnya kosong melompong, tamu itu bertanya, “Wahai Abu Dzar, dimana gerangan perabot-perabot rumah anda?”

Jawab Abu Dzar, “Kita punya rumah di kampung sana (maksudnya kanpung akhirat) sehingga perabot-perabot yang terbaik kukirimkan ke sana.”

Tamu itu mengerti maksudnya. Katanya lagi, “Tapi Anda juga mesti memiliki perabot selama berada di kampung yang sekarang.”

“Tapi si empunya rumah tidak mengizinkan kita menetap di rumah yang ini (si dunia),” jawab Abu Dzar.


Pernah gubernur Syam mengirimkan uang tiga ratus dinar kepada Abu Dzar disertai ucapan, “Pergunakanlah uang ini untuk kebutuhan Anda.”

Abu Dzar mengembalikan seluruhnya seraya berkata, “Apakah Tuan Gubernur tidak menemukan seorang hamba yang lebih miskin dari saya?”


Pada tahun 32 H, malaikat maut telah menjemput seorang zuhud yang tekun beribadah yang dikatakan oleh Rasulullah: “Tidak ada dia atas bumi dan di bawah langit orang yang lebih jujur daripad Abu Dzar.”1)

1) Sosok Para Sahabat Nabi, DR. Abdurrahman Ra'fat Al-Basya, Cetakan I, Oktober 1996, CV.Pustaka Matiq

Abu Ayyub Al-Anshari

Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam yang mulia ini bernama Khalid bin Zaid bin Kulaib, dari Bani Najjar. Julukannya adalah Abu Ayyub Al-Anshari.

Siapa gerangan muslim yang tidak mengenal Abu Ayyub Al-Anshari?

Allah mengharumkan namanya di Timur dan di Barat dan mengangkat derajatnya di atas makhluk-makhlukNya yang lain ketika Dia memilih rumah Abu Ayyub sebagai tempat menginap sementara bagi Nabi mulia yang baru berhijrah ke Madinah. Menginapnya Rasulullah di rumah Abu Ayyub merupakan kisah yang teramat indah untuk dikenang kembali.

Betapa tidak. Saat itu Nabi tiba di Madinah dengan dielu-elukan oleh seluruh penduduk. Semua mata memandanginya dengan penuh kerinduan seolah memandang sang kekasih hati. Mereka semua membuka pintu-pintu rumah, berharap Nabi mulia itu sudi menginap di tempat mereka.

Tetapi Rasulullah ternyata tinggal di sebuah desa berjarak dua mil dari Madinah, yaitu desa Quba'. Disini beliau membuat masjid pertama yang dibangun di atas dasar taqwa.

Kemudian beliau menunggangi ontanya keluar. Para pemimpin kota Yatsrib berusaha agar beliau mau berhenti. Masing-masing ingin mendapat kehormatan dijadikan tempat menginap oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka menghalang-halangi jalannya onta tunggangan beliau dan memohon-mohon, “Tinggallah di rumah saya beserta seluruh perlegkapan Anda, wahai Rasulullah. Kami akan menjamin keselamatan Anda.”

Rasulullah berkata, “Biarkanlah onta ini berjalan sekehendaknya karena dia diperintah oleh Allah.”

Onta itu terus berjalan diikuti tatapan mata para penyambut. Bila dia melewati satu rumah, maka pemiliknya merasa pupus harapan untuk bisa menjadi tuan rumah bagi Rasulullah. Sebaliknya pemilik rumah-rumah berikutnya menanti dengan harap-harap cemas akankah rumah mereka dipilih oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Namun si onta terus saja berjalan. Orang-orang pun mengikutinya dengan penasaran. Akhirnya sampailah dia disuatu tanah kosong di depan rumah Abu Ayyub Al-Anshari. Di situlah dia berhenti dan duduk.

Tapi Rasulullah tidak segera turun. Tak lama kemudian memang si onta bangkit dan berjalan kembali. Rasulullah melepaskan tali kendalinya. Belum jauh berjalan, dia berbalik dan duduk di tempat semula.

Tak terkirakan kebahagiaan Abu Ayyub Al-Anshari. Dia segera mendekati Rasulullah dan menurunkan barang-barang bawaan beliau. Rasanya dunia seisinya terkumpul di rumahnya….


Rumah Abu Ayyub terdiri dari dua lantai. Dia bermaksud mengosongkan barang-barangnya di lantai atas agar bisa di tempati oleh Rasulullah. Namun Rasulullah memilih tinggal di lantai bawah sehingga Abu Ayyub menuruti saja kehendak beliau.

Ketika malam, Rasulullah beranjak ke peraduannya, sementara Abu Ayyub dan istrinya naik ke lantai atas. Setelah menutup pintu, berkatalah Abu Ayyub, “Istriku, apa yang kita lakukan ini? Rasulullah berada di bawah dan kita di atasnya? Patutkah hal seperti ini? Kita berada di antara nabi dan wahyu yang akan turun kepada beliau!

Semalaman kedua suami istri ini gelisah dan tak tahu yang harus dilakukan. Mereka menyingkir dari tengah-tengah ruangan yang diperkirakan Rasulullah tidur di bawahnya. Bila hendak pergi ke sisi ruangan yang lain, mereka berjalan menempel dinding karena tak ingin berjalan di atas Rasulullah.

Pagi harinya Abu Ayyub berterus terang kepada Rasulllah, “Wahai Rasulullah, demi Allah semalam suntuk saya tidak dapat memejamkan mata, demikian pula dengan ummu Ayyub.”

Nabi bertanya, “Apakah sebabnya, wahai Abu Ayyub?”

“Saya teringat betapa saya berada di atas sedangkan Anda di bawah. Bila saya bergerak, maka debu-debu akan rontok dari atas dan mengganggu Anda. Di samping itu saya berada di antara wahyu dan Anda.”

Rasulullah menenangkannya, “Tenanglah, Abu Ayyub. Sesungguhnya aku merasa lebih enak berada di bawah, karena nantinya tentu banyak tamu yang berdatangan.”

Berkisahlah Abu Ayyub:

Aku mengikuti pilihan Rasulullah. Tapi pada suatu malam yang amat dingin, kendi air minum kami terjatuh dan airnya membasahi lantai. Sedangkan satu-satunya benda yang bisa dipakai untuk mengelapnya hanya selimut yang kami pakai. Maka tanpa pikir panjang kami segera mengepel air tumpahan tersebut dengan selimut sebelum terlanjur menetes ke bawah dan mengenai Rasulullah.

Keesokan harinya aku mendatangi Rasulullah seraya berkata, “Demi ayah bundaku, wahai Rasulullah, benar-benar saya tidak bisa tinggal di atas Anda.” Kuceritakan soal kendi yang pecah itu. Beliau akhirnya menerima alasanku dan bersedia pindah ke atas, sedangkan aku dan Ummu Ayyub turun ke lantai bawah.


Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tinggal di rumah Abu Ayyub selama sekitar tujuh bulan, yaitu sampai masjid di atas tanah yang diduduki onta beliau selesai dibangun. Selanjutnya beliau dan para istrinya tinggal di bilik-bilik di sebelah masjid. Beliau menjadi tetangga Abu Ayyub, tetangga yang menyebabkannya memperoleh kemuliaan dan keutamaan.

Abu Ayyub mencintai Rasulullah dengan cinta yang menyita segenap akal dan hatinya. Rasulullah juga mencintai Abu Ayyub dengan cinta yang menghapuskan dinding pemisah antara Abu Ayyub dan dirinya karena Rasulullah menganggap rumah Abu Ayyub seperti rumah sendiri.


Berkisah Ibnu Abbas:

Pada suatu siang yang terik Abu Bakar keluar dari rumahnya menuju ke masjid. Umar melihat lalu menyapanya, “Wahai Abu Bakar, apa yang menyebabkan Anda keluar rumah pada siang seterik ini?”

Jawab Abu Bakar, “Aku tidak akan keluar rumah kalau tidak didorong oleh rasa lapar yang menggigit.”

Umar menimpali, Aku pun demi Allah tidak keluar kecuali karena sebab yang sama.”

Saat mereka berdua bercakap-cakap, Rasulullah datang seraya bertanya, “Apa yang menyebabkan kalian keluar rumah pada saat sepanas ini?”

Keduanya menjawab, “Demi Allah, perut yang perih karena laparlah yang memaksa kami keluar.”

Kata Nabi, “Demi jiwaku ditanganNya, tidak ada pula yang mengeluarkan diriku dari rumah kecuali itu juga. Mari ikutlah aku.”

Mereka bertiga berjalan sampai di depan pintu rumah Abu Ayyub Al-Anshari. Setiap hari Abu Ayyub memang biasa menyediakan makanan untuk Rasulullah. Bila pada waktu-waktu makan beliau tidak juga datang, baru Abu Ayyub memperbolehkan keluarganya memakannya.

Ummu Ayyub membuka pintu lalu mengucapkan salam, “Selamat datang, wahai Nabi dan saudara-saudara.”

Rasulullah bertanya, “Dimana Abu Ayyub?”

Saat itu Abu Ayyub sedang mengurus pohon kurmanya disamping rumah. Mendengar suara Nabi, dia segera menyongsong, “Selamat datang, wahai Rasulullah dan saudara-saudara.” Lanjutnya, “wahau Nabiyullah, bukan kebiasaan anda datang pada waktu-waktu seperti ini.”

Nabi membenarkan, “Engkau benar.”

Abu Ayyub kemudian memotong setandan kurma yang berisi tamar, rutab, dan busr (rutab adalah kurma telah masak, sedangkan busr adalah yang masih seperti masak).

Rasulullah berkata, janganlah engkau memotong tandan yang begini. Sebaiknya ambillah tandan yang sudah sempurna.

Kata Abu Ayyub, “Wahai Rasulullah, saya ingin Anda makan tamarnya, rutab-nya, serta busr-nya juga. Saya pun akan menyembelih kambing untuk Anda.”

Pesan Rasulullah, “Janganlah engkau menyembelih kambing yang sudah mengeluarkan susu.”

Abu Ayyub memilih seekor anak kambing yang berumur setahun. Setelah menyembelihnya, dia berkata kepada istrinya. “Buatlah adonan untuk roti, engkau lebih mengerti cara membuat roti. Untuk kambingnya, masaklah yang separuh dan bakarlah separuh lainnya.”

Setelah masak, roti, kuah, dan kambing segera dihidangkan. Rasulullah mengambil sepotong daging dan menaruhnya didalam roti seraya berkata, “Wahai Abu Ayyub, tolong antar roti dan daging ini kerumah Fathimah. Dia juga beberapa hari tidak makan sesuatu.”

Setelah mereka semua kenyang, Nabi berkata, “Roti, daging, tamar, busr,dan rutab. “Kedua mata beliau berlinangan ketika melanjutkan, “demi jiwaku di tangan-Nya, inilah yang disebut nikmat, yang akan kalian pertanggungjawabkan kelak pada hari kiamat. Bila kalian menghadapi hidangan seperti ini dan akan menyantapnya, bacalah basmalah. Bila sudah kenyang ucapkan: ”Alhamdulillahiladzi huwa asba'anaa wa an'ama 'alaina fa afdhala (Segala puji bagi Allah yang memberi kami makan sampai kenyang dan memberi karunia sebaik-baiknya).”

Rasululah lalu bangkit dan berpesan kepada Abu Ayyub, “Besok datanglah ketempatku.”

Sudah menjadi tabiat luhur Rasulullah bahwa tak seorang pun berbuat baik kepada beliau kecuali segera dibalas dengan kebaikan yang lain. Namun kelihatannya Abu Ayyub tidak mendengar kata-kata beliau sehingga Umar merasa perlu mengulangi, “Nabi meminta Anda datang kepada beliau besok pagi.”

Abu Ayyub segera berkata, “Saya akan datang besok, ya Rasulullah.”

Keesokan harinya pergilah Abu Ayyub ke tempat Rasulullah. Beliau ternyata menghadiahinya seorang pembantu rumah tangga seraya berpesan, “Perlakukanlah anak ini dengan baik di rumahmu, Abu Ayyub. Kami tidak pernah mendapati pada dirinya selain sesuatu yang baik selama di rumah ini.


Abu Ayyub pulang pulang bersama anak belia itu. Ummu Ayyub keheranan melihatnya, maka ia berkata, “Untuk siapa anak ini, Abu Ayyub?”

Jawab Abu Ayyub, “Untuk kita. Hadiah dari Rasulullah.” “Sebuah hadiah yang paling berharga,” komentar Ummu Ayyub.

Abu Ayyub melanjutkan, “Beliau berpesan agar kita memperlakukan anak ini sebaik-baiknya.”

Ummu Ayyub berpikir-pikir, “Kebaikan apa yang bisa kita lakukan terhadapnya untuk melaksanakan pesan Rasulullah itu?”

Kedua suami-istri itu terdiam beberapa saat sampai akhirnya Abu Ayyub berkata, “Demi Allah aku tidak mungkin melaksanakan pesan itu lebih baik daripada memerdekakan anak ini.”

“Engkau telah mendapat petunjuk kebenaran! Engkau mendapatkan taufik!” Ummu Ayyub kegirangan.

Anak kecil itu pun dimerdekakan oleh mereka ….


Rangkaian kisah diatas adalah mengenai kehidupan Abu Ayyub Al-Anshari dalam suasana damai. Bila Anda sempat mengetahui sebagian hidupnya dalam peperangan, niscaya Anda akan menjumpai hari-hari yang menakjubkan.

Sepanjang hidupnya, Abu Ayyub adalah seorang mujahid, seorang pejuang yang aktif. Dia bahkan tidak pernah ketinggalan dalam seluruh perang muslimiin sejak masa Rasulullah hingga masa Muawiyah kecuali bila disibukkan oleh suatu tugas.

Perang terakhir yang diikutinya adalah penaklukan Konstantinopel. Muawiyah saat itu mengirimkan pasukan yang dipimpin oleh putranya sendiri, Yazid. Pada masa itu Abu Ayyub adalah seorang lanjut usia berumur delapan puluhan. Dia tidak mau ketinggalan ikut berperang di bawah panji-panji Yazid dan turut menerjang gelombang musuh sebagai seorang pejuang.

Namun Abu Ayyub tak mampu lama-lama bertempur. Dia menderita sakit yang mengharuskannya untuk beristirahat. Yazid sebagai panglima menjenguk dan bertanya, “Adakah anda memerlukan sesuatu, Abu Ayyub?”

Dia menjawab, “Sampaikanlah salamku kepada seluruh kaum muslimin…”

Abu Ayyub juga berpesan agar pasukan terus maju kedaerah musuh dan membawanya bersama mereka. Bila nanti dia wafat di medan perang, hendaknya jenazahnya dibawa dan dimakamkan dibawah dinding batu konstantinopel.

Tak lama setelah itu, Abu Ayyub pun wafat.


Pasukan muslimin melaksanakan amanat sahabat Rasulullah ini. Mereka terus bertempur dengan gagah berani. Ketika mencapai dinding Konstantinopel mereka memakamkan jenazah Abu Ayyub dibawahnya.

Semoga Allah memberi rahmat kepada Abu Ayyub Al-Anshari. Dia tidak mau mati kecuali diatas punggung beberapa ekor kuda jinak sebagai pejuang. Menyerbu ke tengah medan tanpa mempedulikan bahwa usianya sudah delapan puluh tahun. 1)

1) Sosok Para Sahabat Nabi, DR. Abdurrahman Ra'fat Al-Basya, Cetakan I, Oktober 1996, CV.Pustaka Matiq

Abdullah bin Mas'ud

Waktu itu Abdullah bin Mas'ud adalah seorang remaja yang mendekati baligh (remaja). Dia bekerja sebagai pengembala kambing seorang tokoh Quraisy yang bernama Uqbah bin Mu'its. Digiringnya kambing-kambing itu kedaerah perbukitan di luar Mekkah, jauh dari hiruk-pikuk manusia.

Orang-orang memanggilnya Ibnu Ummu 'Abad. Namanya sendiri adalah Abdullah, dan ayahnya Mas'ud.

Remaja kecil ini juga mendengar kabar tentang seorang nabi yang muncul dari tengah-tengah kaumnya, tetapi ia tak ambil pusing dengan hal itu. Ini bisa dimengerti mengingat usianya yang masih begitu muda dan keterasingannya dari kehidupan sosial Makkah. Kehidupannya hari demi hari hanya mengembalakan kambing-kambing Uqbah. Pagi-pagi dia berangkat, dan malam baru kembali.


Suatu hari Abdullah bin Mas'ud melihat dua lelaki yang kelihatannya berasal dari golongan terhormat. Mereka berdua berjalan menuju ke arahnya. Keduanya terlihat lusuh dan kelelahan. Bibir mereka kering karena menahan haus yang mencekik tenggorokan.

Setelah dekat dengannya, kedua lelaki itu memberi salam lalu berkata, “Wahai anak muda, tolonglah perahkan susu kambing-kambingmu untuk melenyapkan dahaga dan membasahi urat-urat tubuh kami.”

Abdullah bin Mas'ud menjawab, “Aku tidak bisa melakukannya sebab kambing-kambing ini bukan milikku. Aku diberi amanah oleh pemiliknya untuk memelihara mereka.”

Kedua laki-laki itu ternyata tidak gusar dengan penolakan Abdullah bin Mas'ud, bahkan mereka tampak kagum dan gembira. Kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Tunjukkan padaku kambing gibas yang belum pernah dikawinkan dengan pejantan.”

Setelah kambingnya ditunjukkan, lelaki itu lalu menambatkannya dan mengusap-ngusap puting susunya sambil membaca doa dengan nama Allah. Si gembala muda memandangnya dengan heran. Ia berkata dalam hati, “Mana mungkin kambing betina yang masih muda dan belum pernah dikawinkan bisa menghasilkan susu….”

Namun rupanya diasalah duga. Dilihatnya puting susu kambing itu membengkak dengan cepat, bahkan sebentar kemudian air susunya memancar keras.

Lelaki yang satu lagi mencari batu yang cekung di bagian tengahnya untuk menampung susu perahannya, lalu meminumnya bergantian dengan kawannya. Abdullah bin Mas'ud juga mendapat bagian. Gembala muda ini belum bisa percaya dengan peristiwa yang dialaminya.

Setelah mereka bertiga minum sampai puas, lelaki yang pertama kembali mengusap-usap puting susu si kambing, dan pelan-pelan puting tersebut menguncup kembali seperti semula.

Abdullah bin Mas'ud segera berkata, ” Tolong ajari aku mantara (mungkin maksudnya mantera-www.sohabat.org)yang anda ucapkan tadi.”

Lelaki itu menjawab, “Engkau adalah anak yang terdidik.”


Itulah awal interaksi Abdullah bin Mas'ud dengan Islam. Lelaki yang penuh berkah tersebut tak lain adalah Rasulullah, dan orang yang menyertainya adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Pada siang yang terik itu mereka sedang dalam perjalanan keluar kota Mekkah demi menghindari dari gangguan-gangguan kafirin Quraisy.

Sebagaimana Abdullah bin Mas'ud terpikat dan jatuh hati kepada kemuliaan Rasulullah dan sahabatnya, kedua lelaki mulia tersebut juga kagum kepada kejujuran dan keteguhan remaja belia itu dalam menjaga amanah yang dipercayakan kepadanya. Rasulullah dan sahabatnya melihat tanda-tanda kebajikan pada dirinya dan mengharapkan keikutsertaannya dalam barisan Islam suatu hari nanti.

Tak lama setelah itu memang Abdullah bin Mas'ud memeluk Islam. Dia juga menawarkan diri untuk menemani dan melayani Rasulullah. Beliau akhirnya menjadikannya sebagai pembantunya nanti.

Nasib baik telah berpihak kepada Abdullah bin Mas'ud. Dari seorang pengembala kambing biasa dia bisa menjadi pelayan pribadi Rasulullah, pemimpin seluruh umat.


Abdullah bin Mas'ud menyertai Rasulullah laksana bayangan. Dia membangunkan beliau kala tidur, menutupi beliau ketika mandi, menyiapkan terompah bila beliau hendak keluar rumah dan menyimpannya bila beliau kembali, membawakan tongkat dan siwak beliau.

Rasulullah bahkan mengizinkan Abdullah bin Mas'ud keluar masuk rumah beliau setiap waktu. Dia dipercaya memegang rahasia Rasulullah tanpa beliau merasa ragu. Dia bahkan dijuluki “Si Pemegang Rahasia Rasulullah”.


Abdullah bin Mas'ud dididik di rumah Rasulullah. Dia mendapatkan petunjuk-petunjuk langsung dari beliau, berbudi pekerti seperti beliau, mengikuti sifat-sifat beliau, dan mengikuti jejak serta gerak-gerik beliau sampai dikatakan sebagai orang yang sama persis dengan Rasulullah.

Dialah yang terbaik dalam membaca Al Qur'an, dialah yang paling paham akan makna dan tafsir Al-Qur'an, dan dia pula yang paling mengerti tentang syari'at Allah.

Ada satu bukti nyata tentang hal ini. Konon seseorang menghampiri Amirul Mukminin Umar bin Khatthab saat wuquf di padang Arafah lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, saya datang dari Kufah dan meninggalkan seseorang yang mengisi penuh lembaran-lembaran Al-Qur'an.”

Meledak amarah Umar. Belum pernah dia marah seperti itu. “Siapa orang itu?!” hardiknya.

Orang tersebut menjawab, “Abdullah bin Mas'ud.”

Kemarahan Umar lenyap secepat timbulnya. Katanya, “Ah, demi Allah aku tahu bahwa tidak ada seorangpun yang berhak memiliki hal sedemikian itu sampai saat ini kecuali dia. Aku akan bercerita kepadamu tentang hal itu:

Pada suatu malam Rasulullah berada di rumah Abu Bakar untuk membahas hal ikhwal kaum muslimin. Aku juga berada disana. kemudian Rasulullah keluar dan kami menyertainya. Di depan masjid kami melihat seseorang sedang mendirikan shalat, dan kami tidak mengetahui siapa dia. Rasulullah berhenti ketika mendengar bacaan shalatnya, lalu berpaling kepada kami berdua seraya berkata, “Barangsiapa ingin merasa senang membaca Al-Qur'an dengan indah sebagaimana diturunkan pertama kali, hendaknya membacanya seperti bacaan Ibnu Ummu Abad.”

Selanjutnya Abdullah bin Mas'ud berdoa, sementara itu Rasulullah juga berdoa untuknya, “Mohonlah kepada Allah apa yang engkau kehendaki, niscaya Dia akan mengabulkan permohonanmu.”

Aku berkata dalam hati, “Demi Allah aku akan menemui Abdullah bin Mas'ud besok pagi-pagi benar untuk menceritakan kabar gembira ini. Akan kuberitahukan kepadanya doa Rasulullah, dan bahwa beliau mengamini doanya.”

Keesokan harinya aku pergi ke rumah Abdullah bin Mas'ud untuk melaksanakan niatku. Namun ternyata Abu Bakar telah mendahuluiku dalam menceritakan kejadian kemarin. Demi Allah aku belum pernah didahului orang lain dalam mengerjakan kebaikan kecuali oleh Abu Bakar.”


Abdullah bin Mas'ud telah mencapai tingkatan yang amat tinggi dalam hal pemahaman dan tafsir Kitabullah. Dia berkata, “Demi Allah yang tidak ada Tuhan kecuali Dia, tak ada satu ayat pun yang turun dari Kitabullah kecuali kuketahui dimana diturunkannya dan apa sebabnya diturunkan. Seandainya aku menemukan orang yang lebih mengerti isi Al-Qur'an daripada aku, maka dimana pun tempat tinggalnya asalkan dapat dicapai dengan kendaraan, niscaya aku akan belajar kepadanya.”

Abdullah bin Mas'ud tidak mengada-ada. Keterangan tentang dirinya sendiri itu benar adanya. Syahdan Umar bin Khaththab pernah berjumpa dengan serombongan kafilah dalam suatu perjalanan yang gelap gulita di malam hari. Umar tidak bisa melihat anggota-anggota kafilah tersebut karena gelapnya, yang sebenarnya di dalamnya terdapat Abdullah bin Mas'ud. Kepada pembantunya, Umar menyuruh menanyai kafilah tersebut dengan suara keras. “Dari manakah kalian ini?”

Yang menjawab adalah Abdullah bin Mas'ud, “Dari jalan besar di antara dua bukit.” Selanjutnya berlangsunglah tanya jawab di antara mereka:

Umar : “Kemana tujuan kalian?”

Abdullah : “Baitul Atiq.”

Umar (bergumam) : “Pasti di antara mereka ada seorang alim (orang pandai).” Kemudian dia menyuruh seseorang bertanya kepada mereka ayat apa yang paling mulia dari Al-Qur'an.

Abdullah : “Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia. Yang Hidup kekal yang senantiasa berdiri sendiri tiada mengantuk dan tiada tidur.” (Al-Baqarah: 225).

Umar : “Tanyakan kepada mereka ayat apa yang paling kokoh.”

Abdullah : “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kabajikan, memberi kepada kaum kerabat.” (An-Nahl: 90).

Umar : “Tanyakan kepada mereka, ayat apa di dalam Al-Qur'an yang paling padat ungkapannya.”

Abdullah : “Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Al-Zalzalah: 7-8).

Umar : “Tanyakan kepada mereka ayat apa di dalam Al-Qur'an yang paling menakutkan.”

Abdullah : ”(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selan dari Allah.” (An-Nisa': 123)

Umar : “Tanyakan kepada mereka ayat apa yang paling mengandung pengharapan.”

Abdullah : “Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (Az-Zumar: 53)

Umar : “Tanyakan kepada mereka: Adakah di antara kalian ini Abdullah bin Mas'ud?”

Abdullah : “Ya, benar. Dia ada bersama kami.”


Abdullah bin Mas'ud bukan hanya pembaca Al-Qur'an yang piawai, bukan hanya seorang 'alim (berilmu), 'abid (hamba Allah), dan zahid, melainkan juga seorang mujahid (pejuang), yang kuat, tegas, dan pemberani dalam keadaan-keadaan genting. Cukuplah dia sebagai orang pertama di muka bumi ini yang berani membaca Al-Qur'an secara terang-terangan. Kisahnya demikian:

Pada suatu hari para sahabat Rasulullah berkumpul di Makkah Al-Mukarramah. Saat itu jumlah mereka masih sedikit dan masih lemah. Di antara mereka ada yang berkata, “Demi Allah, orang-orang kafir Quraisy itu belum pernah mendengar Al-Qur'an dibaca dengan terang-terangan. Siapa gerangan berani melakukannya?”

Abdullah bin Mas'ud angkat suara, “Aku akan memperdengarkan Al-Qur'an kepada mereka.”

Para sahabat menahannya, “Kami mengkhawatirkan keselamatan Anda. Sesungguhnya yang kami maksudkan adalah seseorang yang memiliki keluarga di belakangnya yang bisa melindungi dari gangguan orang-orang itu.”

Namun Abdullah bin Mas'ud tak dapat lagi dicegah. Katanya “Biar aku saja. Cukuplah Allah yang melindungi dan membelaku.”

Dia beranjak menuju Ka'bah. Waktu pagi hari dan banyak tokoh Quraisy yang sedang duduk-duduk di sekitar Ka'bah. Abdullah bin Mas'ud berdiri di sebelah maqam Ibrahim kemudian membaca Al-Qur'an keras-keras:

”(Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan Al-Qur'an. Dia yang menciptakan manusia, mengajarnya pandai berbicara.” (Ar-Rahman: 1-4)

Dia terus saja membaca sambil berusaha menarik perhatian tokoh-tokoh terkemuka Quraisy.

Orang-orang saling berpandangan, “Apa yang diucapkan oleh Ibnu Ummu 'Abbad itu?”

Ketika tersadar, mereka pun menjadi berang, “Celaka! Dia membaca risalah yang dibawa oleh Muhammad!”

Mereka bergegas mendatangi Abdullah bin Mas'ud dan menghujaninya dengan pukulan. Tapi yang dipukuli tetap melanjutkan bacaannya sampai batas yang dikehendaki Allah.

Akhirnya Abdullah bin Mas'ud kembali kepada sahabat-sahabatnya. Darah mengalir dari kepala dan wajahnya. Para sahabat berkata, “Inilah yang kami khawatirkan tadi.”

Tapi dia menjawab tegas, “Demi Allah, sekarang tidak ada yang lebih hina di mataku daripada musuh-musuh Allah itu. Bila kalian menginginkan besok pagi aku kan melakukannya lagi seperti tadi.”

“Tidak, tidak,” kata sahabat-sahabatnya, “cukuplah bagi Anda. Anda telah memperdengarkan kepada mereka sesuatu yang tidak mereka inginkan.”

Abdullah bin Mas'ud hidup sampai zaman khalifah Ut'sman bin Affan Radhiyallahu 'anhu. Waktu dia sakit keras, kalifah Utsman menjenguknya dan bertanya, “Apa yang anda keluhkan?”

“Dosa-dosaku,” jawabnya.

“Apa yang anda harapkan?Maukah kuberikan kepada Anda santunan yang Anda tolak beberapa tahun yang lalu?”

Dia menjawab, “Aku tidak membutuhkannya.”

“Untuk putera-puteri Anda setelah anda meninggalkan mereka,”bujuk Utsman.

Abdullah bin Mas'ud menjawab,”Apakah Amirul Mukminin takut putera-puteriku miskin? Mereka sudha kusuruh membaca Al-Waqi'ah setiap malam. Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa membaca surat Al-Waqi'ah setiap malam, dia tidak akan menderita kemiskinan sama sekali.”

Malamnya Abdullah bin Mas'ud berangkat menghadap Ar-Rafiqul A'laa dengan tenang. Bibirnya segar dengan dzikrullah dan bacaan Al-QUr'an yang terang dan penuh petunjuk. 1)

1) Sosok Para Sahabat Nabi, DR. Abdurrahman Ra'fat Al-Basya, Cetakan I, Oktober 1996, CV.Pustaka Matiq

Abdullah bin Jahasy

Sahabat yang satu ini sangat erat hubungannya dengan Rasulullah dan termasuk satu di antara sahabat yang pertama-tama masuk Islam. Dia adalah putera bibi Rasulullah, sebab ibunya yang bernama Umaimah binti Abdul Muthalib merupakan saudara perempuan ayah Anda Rasulullah. Dia juga ipar Rasulullah, sebab saudara perempuannya yang bernama Zainab binti Jahasy menjadi istri Rasulullah dan ummahatul mukminin.

Dia adalah orang pertama yang dipercayai memegang panji-panji Islam dan orang pertama pula yang diberi gelar Amirul Mukminin. Dia adalah Abdullah bin Jahasy Al-Asady.


Abdullah bin Jahasy memeluk Islam sebelum Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bermarkas di rumah Arqam. Dia termasuk Assbiquunal-awwalun.

Tatkala Nabi mengizinkan para sahabat berhijarah ke Madinah untuk menyelamatkan Islam dari gangguan-gangguan Quraisy, Abdullah adalah muhajir (orang yang berhijrah) kedua. Tak ada yang mendahuluinya kecuali Abu Salamah.

Hijrah kepada Allah dan terpisah dari keluarga dan tanah air, maka fi sabilillah bukanlah hal yang baru bagi Abdullah bin Jahasy. Sebelum ini dia juga pernah berhijrah bersama keluarganya ke negeri Habasyah (Ethiopia).

Tetapi untuk kali ini hijrahnya mengikutsertakan banyak pihak. Dia disertai oleh keluarganya, seluruh kerabat ayahnya, pria-wanita, tua-muda. Rumahnya memang rumah Islam dan kabilahnya pun kabilah Islam.

Begitu keluar dari Makkah, kelompok Muhajirin ini menatap sejenak pada kampung halaman mereka dari kejauhan. Terlihat kosong, sunyi, membiaskan duka. Tak ada kehangatan seperti sebelumnya, tak ada orang yang lalu lalang dengan penuh gairah hidup seperti sebelumnya…

Tak lama setelah itu Abdullah bin Jahasy mendengar kabar bahwa para pemimpin Quraisy mengepung daerah perkampungan untuk mencari tahu siapa saja orang-orang Islam yang berhasil keluar dari Makkah dan siapa yang masih tinggal. Di antara orang-orang Quraisy tersebut terdapat Abu Jahal dan Utbah bin Rabi'ah.

Utbah menengok-nengok rumah-rumah Bani Jahasy. Angin berhembus kencang menebarkan debu dan pasir, pintu-pintu gedubrakan silih berganti terhempas angin. Utbah menggerutu, “Rumah-rumah Bani Jahasy teleh kosong melompong dan menangisi pemiliknya.”

Abu Jahal menimpali, “Siapa mereka itu sampai-sampai rumah menangisi mereka?”

Kemudian Abu Jahal merampok rumah Abdullah bin Jahasy. Rumahnya memang sangat indah dan mewah. Abu Jahal menguasainya beserta segala macam perabotnya. Dia bertingkah laku bagai pemiliknya saja.

Mendengar polah tingkah Abu Jahal mengenai rumahnya, Abdullah bin Jahasy mengadu kepada Rasulullah. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, “Tidakkah engkau rela diberi rumah di surga oleh Allah sebagai gantinya?”

“Saya rela, ya Rasulullah,” jawabnya.

“Akan diberikan kepadamu,” Rasulullah menegaskan.

Hati Abdullah kembali segar dan berbunga-bunga.

Namun rumah di surga sangat mahal harganya. Belum lagi lenyap kepedihan akibat penderitaan dalam hijrahnya yang pertama dan kedua, belum lagi tenang ia beristirahat di pangkuan saudara-saudara Anshar, Allah sudah memberinya ujian yang sangat berat. Semenjak ia memeluk Islam, ujian-ujian berat silih berganti.

Mari kita simak kisahnya….

Rasulullah mengutus delapan orang sahabat untuk melakukan tugas militer yang pertama dalam Islam. Di antara para sahabat ini terdapat Abdullah bin Jahasy dan Sa'ad bin Abi Waqqash. Kata Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Aku menugaskan orang-orang yang paling penyabar dan paling kuat menahan lapar dan dahaga.”

Kepemimpinan satuan ini diserahkan kepada Abdullah bin Jahasy. Dengan demikian, dialah Amirul Mukminin yang pertama.


Rasulullah memberitahukan tujuan satuan kecil ini kepada Abdullah bin Jahasy dan membekalinya sepucuk surat. Abdullah bin Jahasy tidak diperkenankan membukanya sebelum dua hari perjalanan.

Maka selang dua hari baru Abdullah membuka surat tersebut, yang antara lain berbunyi sebagai berikut:

”…Setelah membaca surat ini teruskan perjalanan sampai ke Nakhlah di antara Tha'if dan Makkah. Lakukan pengintaian terhadap orang-orang Quraisy dan laporkan hasil nya kepadaku….”

Setelah membaca surat tersebut, Abdullah bin Jahasy berkata pasti, Aku akan patuh kepada perintah nabiyullah yang mulia.”

Dia berpaling kepada sahabat-sahabatnya, “Saudara-saudara aku diperintah oleh Rasulullah ke Nakhlah untuk melakukan pengintaiaan terhadap orang-orang Quraisy, lalu melaporkannya kepada beliau. Rasulullah melarangku memaksa kalian mengikutiku. Bagi yang tidak, ia boleh pulang, dan itu pun tidak tercela.”

Para anggota satuannya berkata, “Kami telah mendengar perintah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam maka akan mematuhinya. Kami akan menyertai Anda ke tempat yang diperintahkan.”

Mereka terus berjalan sampai ke Nakhlah dan langsung melakukan penyelidikan sesuai perintah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka mengelilingi desa-desa untuk mengintai kaum Quraisy.

Akhirnya di kejauhan tampaklah iring-iringan kafilah Quraisy yang dijaga oleh empat orang, yaitu Amru bin Al-Hadrami, Al-Hakam bin Kaisan, Utsman bin Abdullah, dan saudaranya, Mughirah. Kafilah ini membawa barang-barang dagangan Quraisy. Ada kulit binatang, kismis, dan benda-benda lain yang dibawa oleh pedagang-pedagang mereka.

Para sahabat pun berunding. Itu adalah hari terakhir bulan Haram atau bulan suci (yaitu bulan yang terhalang untuk mengadakan peperangan menurut adab Arab. Bulan-bulan Haram ini adalah Dzulqa'idah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab). Kata mereka, “Kalau kita menyerang mereka, berarti kita melakukan pembunuhan dalam bulan Haram. Ini menunjukkan bahwa kita tidak menghormati bulan Haram. Seluruh bangsa Arab tentu akan mencela dan memusuhi kita. Tapi kalau kita biarkan mereka sampai bulan Haram ini berlalu, pastilah mereka sudah mencapai tanah Haram (Makkah). Menyerang mereka tetap dilarang, sebab mereka sudah berada di dalam wilayah tanah Haram. Mereka akan aman dari kita.”

Akhirnya perundingan ini menghasilkan kesepakatan, yaitu menyerang kafilah Quraisy tersebut. Mereka kemudian menewaskan satu orang, menawan dua orang, sedangkan yang seorang lagi berhasil meloloskan diri.


Abdullah bin Jahasy dan satuannya menggiring kedua tawanan tersebut beserta onta-ontanya sekalian menuju Madinah.

Segera setelah sampai, mereka menghadap Rasulullah. Namun di luar dugaan, Rasulullah tidak berkenan mendengar laporan mereka. Kata beliau, “Demi Allah aku tidak memerintahkan kalian untuk berperang, melainkan untk mencari berita tentang orang-orang Quraisy. Hanya mengintai gerak-gerik mereka, lain tidak.”

Rasulullah menahan dulu kedua tawanan Quraisy itu sementara menunggu keputusan yang pasti. Harta rampasan, onta-onta dan muatannya tidak disentuh sedikitpun.

Abdullah bin Jahasy merasa yakin bahwa mereka akan celaka karena melanggar perintah Rasulullah. Hatinya kian ciut karena rekan-rekannya dari kaum muslimin juga mengecam tindakan satuan yang dipimpinnya karena melanggar adat kebiasaan bangsa Arab, yaitu menghormati empat bulan Haram. Setiap kali berjumpa dengan anggota-anggota satuan Abdullah bin Jahasy, kaum muslimin mengolok-olok. “Mereka orang-orang yang melanggar perintah Rasulullah!”

Bertambah-tambah pula kesedihan kelompok kecil ini tatkala mendengar bahwa orang-orang Quraisy memanfaatkan peristiwa tersebut untuk menyebarkan provokasi menjelek-jelekkan Rasulullah. Kepada semua orang bahkan suku-suku di daerah pegunungan, mereka bercerita bahwa Muhammad telah melanggar bulan Haram mengingat orang-orangnya telah melakukan perampasan, penawanan, dan pembunuhan.

Bukan main penyesalan Abdullah bin Jahasy dan teman-temannya. Kekeliruan yang mereka lakukan telah menyulitkan posisi Rasulullah dan mencoreng kemuliaan.


Di tengah-tengah suasana duka yang mendalam itu, tibalah berita gembira yang tak terduga-duga. Allah ternyata meridloi perbuatan mereka dan menurunkan firman-Nya tentang hal itu.

Meluap-luap kegembiraan mereka. Orang-orang mulia berdatangan, memeluk mereka erat-erat, dan mengucapkan selamat dengan membaca ayat suci yang khusus di turunkan untuk mereka.

Telah turun kalamullah Yang Maha Tinggi kepada Rasulullah sebagai berikut:

“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Alah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh….” (Al-Baqarah: 217).”

Sesudah ayat-ayat mulia ini turun, legalah hati Rasulullah. Beliau mau menerima onta-onta hasil rampasan tadi dan mempersilahkan keluarga kedua tawanan itu membayar uang tebusan. Rasulullah juga ridha dengan tindakan Abdullah bin Jahasy dan satuannya. Perang kecil yang mereka lancarkan telah menggoreskan catatan penting pada kehidupan kaum muslimin. Dengan peristiwa ini, untuk pertama kalinya Islam menewaskan seorang musyrik dan menawan orang lainnya. Untuk pertama kalinya Rasaulullah menerima panji-panji kemenangan dari musuh. Dan si pemimpin Abdullah bin Jahasy, adalah orang pertama yang disebut Amirul Mukminin (pemimpin orang-orang mukmin).


Perang Uhud bagi Abdullah bin Jahasy dan Sa'ad bin Abi Waqqash perang ini merupakan kisah yang tak mungkin terlupakan. Berikut ini Sa'ad bin Abi Waqqash menuturkan pangalamannya bersama Abdullah bin Jahasy:

Saat perang Uhud aku berjumpa dengan Abdullah bin Jahasy. Dia bertanya, “Tidakkah engkau mau berdoa?”

Aku menjawab, “Ya.”

Kami berdua menyingkir ke tempat yang sunyi. Aku berdoa pada kesempatan yang pertama: “Ya Allah Tuhanku, bila aku bertemu musuh, maka pertemukanlah dengan musuh yang kuat tubuhnya, perkasa, lagi mudah naik darah. Aku akan bertarung melawannya, dan karuniakanlah kemenangan bagiku sehingga aku mampu menewaskannya dan mengambil perbekalannya sebagai ghanimah…”

Abdullah bin Jahasy mengamini doaku, kemudiaan ganti berdoa: “Ya Allah hadapkanlah aku dengan musuh yang kekar tubuhnya, pemarah, dan ulet. Aku akan bertarung melawannya, kemudian dia menghantamku dan menyayat hidung dan telingaku. Bila aku berjumpa dengan-Mu pada hari berbangkit nanti dan Engkau bertanya, “Mengapa hidung dan telingamu putus?” Maka aku akan menjawab, “Karena Engkau dan karena Rasul-Mu.” niscaya Engkau akan berkata, “Engkau benar…”

Doa Abdullah bin Jahasy lebih baik daripada doaku. Aku melihat dia tewas di penghujung siang dalam keadaan hidung dan telinga tersayat. Sayatan hidung dan telinga itu digantungkan di pohon dengan tali…


Allah mengabulkan doa Abdullah bin Jahasy. Dia diberi rizki mati syahid sebagaimana dikaruniakannya kepada pamannya, Hamzah bin Abdul Muthalib, bapak para syuhada'.

Rasulullah mengebumikan dua orang syuhada' ini di dalam satu lahat. Air mata beliau yang suci menetes membasahi tanah merah yang semerbak dengan wewangian syahadah…1)

1) Sosok Para Sahabat Nabi, DR. Abdurrahman Ra'fat Al-Basya, Cetakan I, Oktober 1996, CV.Pustaka Matiq


Abu Ubaidah Amir bin Abdillah bin Al Jarrah

Dia adalah Abu Ubaidah Amir bin Abdillah bin Al Jarrah bin Hilal bin Uhaib bin Dhabbah bin Al Harits bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah. Dia menyatakan keislamannya bersama-sama dengan Utsman bin Mazh'un. Dia hijrah ke Abisinia pada masa hijrah yang kedua. Abu Ubaidah telah ikut serta dalam perang Badar dan semua peperangan melawan musuh.

Pada Waktu perang Uhud, dia tetap setia bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Pada hari itu juga, dia telah menarik dengan mulutnya dua rantai topi perang yang masuk pada bagian pipi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Kedua gigi serinya juga tanggal pada saat itu.

Ciri-ciri Fisik Abu Ubaidah

Abu Ubaidah adalah seorang laki-laki berpostur rubuh kurus tinggi. Wajahnya mudah sekali berkeringat, kedua gigi serinya tanggal, dan tipis rambut jenggotnya. Dia memiliki dua orang anak yang bernama Yazid dan Umair. Kedua anak itu merupakan buah hatinya dengan sang istri yang bernama Hindun bin Jabir. Namun, keduanya telah meninggal dunia sehingga dia tidak lagi memiliki keturunan.

Perjalanan Hidup Abu Ubaidah

Dari Abu Qilabah, dia berkata: Aku diberitahu oleh Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap umat itu memiliki orang yang dapat dipercaya, dan sesungguhnya orang yang dapat dipercaya dikalangan kita –wahai sekalian orang (muslim)– adalah Abu Ubaidah bin Al Jarrah”. 1)

Dari sahabat Anas bin Malik bahwa ketika penduduk Yaman datang berkunjung kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka meminta beliau agar mengirimkan seseorang yang akan mengajari mereka mengenai As-Sunnah dan ajaran Islam. Maka, Rasulullah memegang tangan Abu Ubaidah bin Al Jarrah sembari bersabda, “Inilah orang yang dapat dipercaya dari kalangan umat ini.”2)

Dari Syuraih bin Ubaid, Rasyid bin As'ad, dan para perawi selain keduanya, mereka berkata: Ketika Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu mendengar berita kalau di negeri Syam terjangkit wabah penyakit yang cukup gawat, maka dia berkata:“Telah sampai berita kepadaku bahwa di Syam terjadi wabah penyakit yang cukup parah.” Lalu Umar kembali berkata, “Jika ajalku menjemputku sedangkan Abu Ubaidah masih hidup, maka aku akan mengangkatnya sebagai khalifah. Jika Allah 'Azza wa Jalla bertanya kepadaku, Mengapa kamu mengangkatnya sebagai khalifah untuk umat ini? maka aku akn menjawab, bahwa seseungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Sesungguhnya setiap Nabi memiliki seseorang yang dapat dipercaya. Sedangkan orang yang dapat aku percaya adalah Abu Ubaidah bin Al Jarrah'. Jika ajalku menjemputku sedangkan Abu Ubaidah juga telah meninggal dunia, maka aku akan mengangkat Muadz bin Jabal sebagai khalifah. Apabila Tuhanku 'Azza wa Jalla menanyaiku, 'Mengapa kamu mengangkatnya sebagai khalifah? maka aku akan menjawab, bahwa aku telah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Sesungguhnya dia (Muadz bin Jabal) akan digiring pada hari kiamat nanti di hadapan para ulama'.”

Dari Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhubahwa dia berkata kepada para sahabatnya, “Berangan-anganlah kalian!” Ada seorang laki-laki berkata, “Aku berangan-angan sendainya aku memiliki logam emas seisi rumah ini, maka aku akan menafkahkannya untuk kepentingan fi sabilillah (di jalan Allah).” Kemudian Umar kembali berkata, “Berangan-anganlah kalian!” Ada seorang laki-laki berkata, “Aku berangan-angan seandainya rumah ini terisi penuh dengan mutiara, batu mulia dan permata, maka aku akan menafkahkannya dan menyedekahkannya untuk kepentingan fi sabilillah.” Umar berkata untuk yang ketiga kalinya, “Berangan-anganlah kalian!” Maka mereka berkata, “Kami tidak tahu ,wahai Amirul Mukminin!” Maka Umar berkata, “Aku berangan-angan, seandainya rumah ini terisi penuh dengan orang-orang semisal Abu Ubaidah bin Al Jarrah.”

Dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dia berkata, “Ketika Umar tiba di Syam, orang-orang dan para tokoh daerah itu langsung menemuinya. Maka Umar berkata, 'Di manakah saudaraku?' Orang-orang bertanya, 'Siapa?' Umar menjawab, Abu Ubaidah'. Orang-orang berkata, 'Tidak lama lagi dia akan datang kepadamu'. Ketika Abu Ubaidah datang kepada Umar, dia turun (dari hewan tunggangannya) kemudian memeluknya. Lalu Umar masuk kedalam rumah Abu Ubaidah. Dia tidak melihat harta benda di dalam rumah Abu Ubaidah, kecuali hanya pedang, perisai dan pelana. Umar berkata kepada Abu Ubaidah, 'Tidakkah kamu ingin memiliki sesuatu yang dimiliki oleh sahabat-sahabatmu?' Abu Ubaidah menjawab, ' Wahai Amirul Mukminin, (cara hidup seperti) inilah yang bisa menyampaikan aku pada tempat peristirahatan'.” (HR. Imam Ahmad)

1) Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari (3704,4382, dan 7255).
2) Bukhari meriwayatkan dari Shalih, dari Huzaifah radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada penduduk Najran, “Pasti aku akan mengirimkan kepad kalian seseorang yang benar-benar dapat di percaya.” Lalu Rasulullah melihat para sahabatnya sampai akhirnya beliau mengutus Abu Ubaidah radhiyallahu 'anhu. (Al Hadits, 3745).

Abu Muhammad bin Abdurrahman bin Auf

Dia adalah Abu Muhammad bin Abdurrahman bin Auf bin Abdi Manaf bin Abdil Harits bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Lu'ai. Nama Abdurrahman bin Auf dimasa Jahiliyyah adalah Abdu Amru. Ada juga yang mengatakan bahwa namanya adalah Abdul Harits atau Abdul Ka'bah. Namun akhirnya Rasulullah shallallohu 'alaihi wa sallam mengganti namanya menjadi Abdurrahman.

Ibunda Abdurrahman bin Auf adalah Asy-Syifa' binti Auf. Wanita ini telah menyatakan dirinya sebagai seorang muslimah dan juga telah melakukan hijrah.

Abdurrahman bin Auf tergolong orang yang masuk Islam pertama, yakni sebelum Rasulullah shallallohu 'alaihi wa sallam menentukan markas dakwahnya di rumah Al Arqam. Dia telah berhijrah ke kawasan Abisina sebanyak dua kali. Abdurrahman juga berkali-kali ikut serta dalam peperangan melawan kaum kafir. Dia tetap setia bersama dengan Rasulullah shallallohu 'alaihi wa sallam ketika perang Uhud.

Rasulullah shallallohu 'alaihi wa sallam pernah bermakmum kepadanya ketika perang Tabuk. Ketika itu Rasulullah masih mengambil air wudhu, dan ternyata orang-orang telah mengerjakan shalat bersama dengan Abdurrahman sebanyak satu rakaat. Maka, beliau langsung bergabung dengan jama'ah shalat yang dipimpin Abdurrahman dan menyempurnakan sisa rakaat yang masih kurang. Dalam hal ini Rasulullah shallallohu 'alaihi wa sallam bersabda, “Seorang Nabi tidak akan dicabut nyawanya sebelum bermakmum di belakang seorang laki-laki shalih dari umatnya.”

Dari Abu Salamah, dari ayahnya bahwa suatu ketika dia pernah pergi bersama dengan Nabi shallallohu 'alaihi wa sallam. Lalu Nabi shallallohu 'alaihi wa sallam pergi untuk buang hajat. Namun orang-orang menjumpai waktu shalat, sehingga mereka pun mengumandangkan iqamah shalat. Lalu Abdurrahman yang maju sebagai imam. Tidak lama kemudian Nabi shallallohu 'alaihi wa sallam datang dan langsung shalat bersama orang-orang di belakang Abdurrahman yang telah menunaikan satu rakaat shalat. Ketika telah melakukan salam, Rasulullah bersabda, “Kalian telah melakukan hal yang benar.” Atau dengan menggunakan redaksi, “Kalian telah melakukan hal yang baik.”

Ciri-ciri Fisik Abdurrahman bin Auf

Dia adalah seorang laki-laki yang berperawakan tinggi dan berkulit tipis. Postur tubuhnya terkesan bongkok. Warna kulitnya putih, lebih condong kemerah-merahan. Kedua telapak tangannya besar dan berhidung mancung.

Ibnu Ishaq, “Kedua gigi seri Abdurrahman telah tanggal, dan jalannya menjadi pincang karena serangan musuh pada waktu perang Uhud”. Ketika itu giginya pecah dan tubuhnya terluka sebanyak 20 lebih. Sebagian besar luka itu menimpa kakinya sehingga menyebabkannya pincang.

Putra-putri Abdurrahman bin Auf

Diantara putra Abdurrahman ada yang bernama Salim Al Akbar. Dia telah meninggal dunia sebelum masa Islam datang. Anak laki-lakinya itu berasal dari istrinya yang bernama Ummu Kultsum binti Utbah bin Rabi'ah. Abdurrahman juga memiliki putri yang lahir pada masa Jahiliyah, yang diberi nama Ummu Qasim. Ibu putrinya ini tidak lain adalah putri Syaibah bin Rabi'ah. Anak Abdurrahman yang lain adalah Muhammad, Ibrahim, Hamid, Ismail, Hamidah dan Amaturrahman. Ibu dari anak-anaknya ini bernama Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abi Mu'aith.

Anaknya yang lain lagi adalah Ma'an, Umar, Zaid, dan Amatush-Shugra. Mereka dilahirkan oleh ostrinya yang bernama Sahlah binti Ashim bin Adi. Selanjutnya Urwah Al Akbar, dia adalah anaknya yang berasal dari istrinya yang bernama Bahriyah binti Hani'. Salim Al Ashgar adalah buah hati Abdurrahman yang berasal dari istrinya yang bernama Ummu Hakim binti Qarizh. Abdullah adalah anak yang terlahir dari istrinya yang merupakan putri Abu Al Khasykhasy.

Abu Salamah –yang tidak lain Abdullah Al Ashgar– adalah anaknya dari Tudhamir binti Al Ashbagh. Abdurrahman adalah buah hatinya dengan Asma' binti Salamah. Mush'ab, Aminah dan Maryam adalah anak-anaknya dari Ummu Harits. Suhail Abu Al Abyadh adalah putranya dari Majd binti Yazid. Utsman adalah anaknya dari Ghuzal binti Kisra, seorang hamba sahaya. Urwah, Yahya dan Bilal berasal dari beberapa orang istri yang lain. Ummu Yahba adalah putrinya yang berasal dari istrinya yang bernama Zainab binti Ash-Shabah. Terakhir Juwairiyah, dia adalah putrinya dari Badiyah binti Ghailan.


Pada Waktu Rasulullah mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar setelah hijrah ke Madinah, Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan Sa'ad bin Rabi' Al Anshari.

Suatu kali Sa'ad berkata kepada saudara barunya, “Saudaraku, aku adalah penduduk Madinah yang terkaya. Aku punya dua kebun dan dua istri. Pilihlah kebun mana yang kau suka dan istri mana yang kau mau, aku akan melepaskannya agar bisa menjadi kebunmu dan istrimu.”

Abdurrahman bin Auf menolak dengan halus, “Allah memberkati harta dan keluargamu. Tapi tunjukkan saja padaku dimana letak pasar”.

Abdurrahman bin Auf berdagang di pasar Madinah. Dalam waktu yang relatif singkat dia sudah bisa memetik keuntungan dan bisa menabungnya sebagian. Ketika simpanannya telah dianggap mencukupi untuk mahar, maka dia menikah.

Usai menikah, Abdurrahman menjumpai Rasulullah. Rasulullah seger mencium wewangiannya yang semerbak sehingga beliau tanya, “Hai Abdurrahman, apakah engkau menikah?” Dia menjawab, “Benar, ya Rasulullah”. “Berapa maharmu?” tanya Rasulullah lagi. “Emas sebesar biji kurma”. Rasulullah bersabda, “Adakanlah pesta perkawinan walaupun dengan seekor kambing saja.”

Berkata Abdurrahman, “Berkat doa Nabi, maka dunia datang kepadaku, sampai-sampai kalau aku mengangkat batu, rasanya kudapati di bawahnya emas atau perak….”1)


Sewaktu perang Badar, Abdurrahman berjuang sepenuh jiwa. Dia berhasil menewaskan musah Allah, Umair bin Utsman bin Ka'ab At-Taimi.

Pada perang Uhud, dia termasuk yang tetap bertahan sementara banyak sahabat lain yang kocar-kacir. Dia keluar dari perang ini dengan membawa leih dari 20 luka. Sebagian lukanya begitu dalam sampai tangan seseorang bisa muat di dalamnya.2)


Dari Ummu Bakr binti Al Miswar bin Makhramah, dari Ayahnya, dia berkata: Abdurrahman bin Auf telah menjual sebidang tanah miliknya yang berasal dari Utsman seharga 40.000 Dinar. Lalu dia membagi-bagikan harta tersebut kepada Bani Zuhrah, orang-orang fakir kaum muslimin, dan para istri Rasulullah shallallohu 'alaihi wa sallam. Dia juga mengirimkan harta tersebut melalui aku. Maka Aisyah berkata, “Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallallohu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Tidak akan merasa simpati kepada kalian (para istriku) sepeninggalku nanti kecuali orang-orang yang shalih'.” Aisyah juga berkata, “Semoga Allah memberi minum Ibnu Auf dari sungai Salsabila yang berada di surga.”

Dar Az-Zuhri, dia berkata, “Abdurrahman bin Auf telah menshadaqahkan separuh harta miliknya sebanyak 40.000 pada masa Rasulullah shallallohu 'alaihi wa sallam. Kemudian menshadaqahkan lagi hartanya sebanyak 40.000, dan kembali bershadaqah sebanyak 40.000 Dinar. Lalu di menanggung 500 kuda untuk kepentingan fi sabilillah, dan setelah itu kembali menanggung 1.500 unta untuk kepentingan fi sabilillah. Sebagian besar harta milik Abdurrahman dia peroleh dari hasil ber-bisnis.”

Dari Ja'far bin Burqan, dia berkata, “Aku pernah mendengar informasi bahwa Abdurrahman bin Auf telah memerdekakan 30.000 hamba sahaya.”

Dari Sa'ad bin Ibrahim, dari ayahnya, bahwa Abdurrahman bin Auf pernah diberi makanan. Ketika itu dia sedang berpuasa. Maka Abdurrahman berkata, “Mush'ab bin Umair telah mati terbunuh. Dia lebih baik dariku. Dia telah dikafani dengan kain bergaris yang jika dibuat menutupi bagian kepalanya, maka kedua kakinya menjadi terlihat. Namun apabil dibuat untuk menutupi kedua kakinya, maka bagian kepalanya tampak.” Aku juga melihat Abdurrahman berkata, “Hamzah telah mati terbunuh. Dia lebih baik dibandung aku. Dia tidak memiliki sesuatu pun kecuali hanya kain yang dia buat untuk mengkafani jenazahnya. Namun ternyata, harta benda duniawi telah dibentangkan kepada kami.” Atau dia berkata dengan menggunakan redaksi, “Namun harta duniawi diberikan kepada kami. Kami benar-benar khawatir kalau kebaikan kami dipercepat untuk diberikan di dunia.” Setelah itu Abdurrahman menangis sehingga dia meninggalan makanan tersebut. (HR. Bukhari)

Dari Naufal bin Iyas Al Hudzali, dia berkata, “Abdurrahman adalah teman duduk kami, dia adalah teman duduk yang paling baik. Pada suatu hari dia berpaling dari kami sampai akhirnya kami mengunjungi rumahnya. Dia ternyata telah memasuki rumahnya kemudian mandi. Lalu dia kembali keluar dan duduk bersama-sama kami lagi. Kami membawakan untuknya sebuah piring yang berisi sepotong roti dan daging. Ketika piring itu diletakkan, Abdurrahman bin Auf menangis. Maka kami berkata kepadanya, 'Wahai Abu Muhammad, apa yang membuatmu menangis?' Abdurrahman menjawab, 'Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggal dunia, sedangkan beliau beserta anggota keluarganya belum pernah merasa kenyang dengan memakan roti gandum. Bukankah seandainya piring (yang berisi makanan lezat) itu tidak diberikan kepada kita, maka akan lebih baik bagi kita?'.”

Dari Ayyub, dari Muhammad, bahwa Abdurrahman bin Auf meninggal dunia dengan mewariskan logam emas yang bisa dibelah dengan kapak. Logam emas itu sampai membuat tangan beberapa orang laki-laki melepuh ketika membelahnya. Dia juga meninggalkan empat orang istri. Seorang istri mendapatkan jatah seperdelapan dari harta tersebut, yaitu senilai 30.000.

Wafatnya Abdurrahman bin Auf

Abdurrahman bin Auf meninggal dunia pada tahun 32 H. Jenazahnya dimakamkan di komplek pemakaman Baqi'. Dia meninggal dunia pada usia 72 tahun. Ada juga yang mengatakan usianya ketika meninggal dunia adalah 75 tahun. 3)

Ketika wafat, jenazah Abdurrahman bin Auf diangkat oleh paman Rasulullah yaitu Sa'ad bin Abi Waqash, dishalatkan oleh Amirul Mukminin Utsman bin Affan, dan diantarkan oleh Ali bin Abi Thalib. Ali berkata, “Anda telah mendapatkan kemurnian dan mendahului kepalsuan, ya Ibnu Auf. Allah telah merahmati Anda.” 4)

1) , 2) , 4) dinukil www.sohabat.org dari buku Sosok Para Sahabat Nabi, DR. Abdurrahman Ra'fat Al-Basya, cetakan I, Tahun 1996, Pustaka Mantiq,
3) dinukil www.sohabat.org dari buku Ensiklopedia Sohabat, Al Imam Ibnul Jauzi, Cetakan kedua, Tahun 1418H/1998M, Pustaka Azzam

Abu Al A'war Sa'id bin Zaid

Dia adalah Abu Al A'war Sa'id bin Zaid bin Amru bin Al Uzza bin Rabbah bin Abdillah bin Razah bin Adi bin Ka'ab bin Lua'i. Ibundanya bernama Fathimah binti Ba'jah bin Umayah. Dia memeluk agama Islam pada gelombang pertama, yakni sebelum Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menentukan markas dakwahnya di rumah Al Arqam. Sa'id bin Zaid selalu menghadiri perang yang diikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kecuali hanya perang badar. Dia absen pada perang Badar karena udzur yang telah kami sebutkan pada biografi Thalhah. Dia adalah seorang laki-laki yang berkulit sawo matang, berperawakan tinggi, dan tubuhnya berbulu.

Putra-putri Sa'id bin Zaid

Di antara putra-putri Sa'id bin Zaid adalah Abdullah Al Akbar, Abdullah Al Ashgar, Abdurrahman Al Akbar, Abdurahman Al Ashgar, Ibrahim Al Akbar, Ibrahim Al Ashgar, Amru Al Akbar, Amru Al Ashgar, Al Aswad, Thalhah, Muhammad, Khalid, Zaid, Ummul Hasan Al Kubra, Ummu Hasan Ash-Shugra, Ummu Habib Al Kubra, Ummu Habib Ash-Shugra, Ummu Zaid Al Kubra, Ummu Zaid Ash-Shugra, Aisyah, Atikah, Hafshah, Zainab, Ummu Salamah, Ummu Musa, Ummu Sa'id, Ummu Nu'man, Ummu Khalid, Ummu Shalih, Ummu Abdil Haula', dan Zajlah.

Perjalanan Hidup Sa'id bin Zaid

Dari Abdullah bin Zhalim, dia berkata: Sa'id bin Zaid telah memegang tanganku sembari berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Tenanglah kamu wahai gunung Hira! Sesungguhnya yang berada di atasmu adalah Nabi, shiddiq, dan syahid'. Aku bertanya, 'Siapakah mereka itu?' Sa'id bin Zaid menjawab, '(Mereka itu adalah) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Zubair, Thalhah, Abdurrahman bin Auf, dan Sa'ad bin Malik'. Kemudian dia diam. Maka aku berkata, 'Siapakah orang yang kesepuluh?' Dia menjawab, 'Aku'.”(HR. Imam Ahmad)1)

Dari Abdurrahman bin Al Akhnas, dia berkata: Sa'id bin Zaid berkata, “Aku bersaksi bahwa aku telah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ' Rasulullah berada di dalam surga, Abu Bakar berada di berada di dalam surga, Umar berada di dalam surga, Ali berada di dalam surga, Utsman berada di dalam surga, Abdurrahman berada di dalam surga, Thalhah berada di dalam surga, Zubair berada di dalam surga, dan Sa'ad berada di dalam surga'.” Kemudian dia berkata,”Jika kalian mau, maka aku akan memberitahukan orang kesepuluh (yang berada di dalam surga).” Lalu Sa'id bin Zaid menyebutkan nama dirinya. (HR. Imam Ahmad)2)

Dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, bahwa Arwa binti Uwais pernah mengadukan Sa'id kepada Marwan. Dia berkata, “Sa'id telah mencuri tanahku, sehingga dia memasukkan tanah tersebut kedalam tanahnya.” Maka Sa'id berkata, “Ya Allah, jika dia memang berbohong, maka hilangkanlah kemampuan matanya untuk melihat dan matikanlah dia di tanahnya sendiri!” Ternyata, mata Arwa menjadi buta dan dia pun terjerembab ke dalam lubang sumur yang berada di tanahnya sendiri sampai akhirnya mati.3)

Wafatnya Sa'id bin Zaid

Dari Nafi' bahwa Sa'id bin Zaid radhiyallahu 'anhu meninggal dunia di kawasan 'Aqiq. Jenazahnya dibawa ke Madinah lalu dimakamkan di sana.

Ibnu Sa'ad berkata, bahwa Abdul Malik bin Zaid berkata, “Sa'id bin Zaid meninggal dunia di 'Aqiq. Lalu jenazahnya dibawa ke Madinah, sedangkan orang yang ikut turun ke dalam liang lahatnya adalah Sa'ad dan Ibnu Umar. Wafatnya itu terjadi pada tahun 50 atau 51 H, Usianya ketika meninggal dunia adalah 70 tahun lebih.” Wallahu a'lam

1) Sanad hadits ini berkualitas shahih dan diriwayatkan oleh Ahmad (I/188). Syaikh Ahmad Syakir telah menganggap shahih hasan. Pendapatnya ini dikemukakan pada komentarnya terhadap kitab Al Musnad(16644 dan 1645).
2) Sanad hadits ini berkualitas shahih dan diriwayatkan oleh Ahmad (I/188). Syaikh Ahmad Syakir telah menganggap shahih hasan. Pendapatnya ini dikemukakan pada komentarnya terhadap kitab Al Musnad(1637).
3) Menurutku (muhaqiq), ini merupakan contoh doa yang dikabulkan yang mampu membuat gunung menjadi berguncang